Bahandasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya Senibangunn yang menjadi dasar pembuatan candi adalah Punden Berundak. Punden berundak merupakan benda peninggalan Megalithikum, berupa batu yang ditumpuk-tumpuk (bertingkat) dan berfungsi sebagai tempat pemujaan. quarterfreelp dan 118 orang menganggap jawaban ini membantu. heart outlined. Terima kasih 71. star. Senibangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi adalah - 3822717 amirachuamid19 amirachuamid19 08.10.2015 Sejarah Sekolah Menengah Pertama terjawab • terverifikasi oleh ahli Seni bangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi Jarak Kota A dan B adalah 80 km,3 poinsedangkan jarak pada peta adalah 8cm. Skala pada peta Vay Tiền Nhanh. Candi adalah sebuah bangunan purbakala yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan beragama Hindu dan Budha di Indonesia. Candi-candi ini tersebar di Sumatera, Jawa, dan berbagai tempat lainnya. Setiap daerah punya keunikan bentuk candi. Dan fungsi candi kebanyakan adalah sebagai tempat ibadah, penyimpanan abu jenazah raja, dan lainnya. Sebagai sebuah bangunan, candi pasti menggunakan bahan tertentu. Bahan yang dipakai pun beragam. Kalau di Jawa, bahan yang sering dipakai adalah batu andesit Jawa Barat, Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, batu bata merah Sumatera, Jawa Timur, bahkan batu kapur sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batu andesit adalah batu berwarna hitam yang berasal dari gunung. Sifat batu ini keras dan tahan lama terhadap cuaca apapun, tapi tetap kalah jika terkena letusan gunung berapi… Kalau batu bata merah, batunya kecil dan berbentuk batu bata, warnanya merah seperti batu bata biasa dan mungkin mudah rusak karena terbuat dari tanah liat yang dibakar. Kalau yang satu ini, batu kapur, adalah batu putih yang terbuat dari terumbu karang yang mati, lalu berubah menjadi putih dan bersifat kimia CaCO3, lalu terangkat ke atas keluar dari laut karena tenaga endogen sehingga menjadi bukit-bukit kapur yang disebut karst. Batu kapur ditambang di bukit-bukit ini. Batu ini lemah karena tidak tahan terhadap cuaca sehingga mudah aus. Mungkin kalau candi yang terbuat dari batu andesit kita sudah lazim dengar, karena candi-candi terkenal terbuat dari batu andesit, seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Kalau candi yang terbuat dari batu bata mungkin agak asing, tetapi banyak candi yang dibuat dari batu bata merah di daerah Jawa Timur, seperti Candi Belah, Candi Bajangratu, dan Candi Brahu. Tapi kalau batu kapur? Asing sekali… Mana mungkin candi terbuat dari batu kapur? Eits, tapi ada lho, candi yang terbuat dari batu kapur. Contohnya adalah candi-candi/situs-situs yang tersebar di Kab. Gunungkidul, DIY. Coba search, pasti ketemu! Sekian postingan saya kali ini. Semoga bermanfaat… Kritik dan saran saya tunggu kayak acara tivi aja, hehehe sumber gambar google gambar; gambar Candi Bajangratu bata merah, Candi Ratu Boko gambar paling bawah sumber informasi sebagian dari buku “Jelajah Candi Kuno Nusantara” karya Wiratna Sujarweni terbitan Diva Press Pos-pos Terkait Sebagai umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan kita menghadaf ke arah bangunan yang disebut dengan padmasana, yaitu simbol tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi dihadapan uiriat-Nya. Bangunan Padmasana berbentuk seperti tugu, bagian bawah terdapat hiasan kura-kura yang dililit oleh 2 ekor naga, di bagian tengah dihias dengan ukir-ukiran yang milah dan seringkaii dilengkapi dengan arca-arca di setiap sudutnya. Sedangkan - di bagian atas berbentuk kursi dengan bagian sandaran tangannya dihias dengan 2 ekor naga. Dari sisi sejarah, agama Hindu dan Budha juga pernah berkembang dan menjadi agama bangsa Indonesia pada abad IV-XV. Bukti keberadaan agama Hindu dan Budha di Indonesia ditandai dengan peninggalan-peninggalan yang berupa candi, prasasti, arca batu, arca perunggu, alat-alat upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini bangunan' candi merupakan tempat peribadatan umat Hindu dan Budha pada masa itu. Bangunan candi tersusun dari batu andesit, batu putih, atau batu bata. Di dalam tubuh candi terdapat bilik yang sempit, tempat arca dewa atau lingga-yoni ditempatkan. Bila kita perhatikan bentuk arsitektur candi dengan arca dewa atau lingga-yoni di dalam biliknya sebagai obyek pemujaan, maka akan kita temui perbedaan yang sangat menyolok dengan bentuk padmasana pada masa kini. Tentu ada mata rantai sejarah perkembangannya sejak mulai dari berbentuk candi hingga sampai ke bentuk padmasana ini? Istilah candi berasal dari bahasa Sansekerta candika grha. Candiku adalah salah satu dari nama-nama Dewi Durga dalam wujudnya sebagai Dewi Maut, sedangkan grha berarti rumah atau kuil. Jadi candika grha berarti kuil Dewi Durga. Meskipun demikian dalam kenyataannya tidak ada satu pun candi di Indonesia yang benar-benar hanya diperuntukkan bagi Dewi Durga. Bahkan istilah Candi juga digunakan untuk semua tempat bangunan peninggalan peribadatan agama Hindu maupun Budha. Perbedaannya adalah, candi-candi Hindu berisi lingga-yoni atau arca-arca dewa Hindu, sedangkan candi-candi Budha berisikan arca Sang Budha. Arca Dewa Siwa, Dewa Agastya Siwa Mahaguru, dan Dewa Ganesha. Komposisi ini dapat kita lihat pada candi induk Komplek Candi Pram-banan, di mana Arca Dewa Siwa^ terdapat pada bilik utama, Dewi Durga pada bilik sisi utara, Dewa Agastya pada sisi selatan, dan Dewa Ganesha pada sisi barat. Sebelum masuknya agama Hindu dan Budha, Bangsa Indonesia telah mengenal kepercayaan asli, yaitu pemujaan kepada roh nenek moyang. Sarana untuk pemujaan kepada roh nenek moyang adalah dengan menggunakan batu-batu besar yang disusun membentuk komposisi tertentu, sehingga jaman ini dikenal dengan tradisi megalitik atau tradisi batu besar mega besar, litluk. batu. Benda-benda peninggalan jaman megalitik antara lain adalah batu menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, dan punden berundak. Di dalam tradisi megalitik terdapat kepercayaan bahwa roh nenek moyang bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, seperti pegunungan, dataran tinggi, dan bukit-bukit. Hal ini menyebabkan bangunan-bangunan dari jaman megalitik, khususnya punden berundak, terletak di tempat yang tinggi. Denah halaman bangunan punden berundak tersusun ke belakang dengan kedudukan semakin ke belakang semakin tinggi. Halaman paling belakang dianggap yang paling suci karena letaknya paling dekat dengan puncak gunung, pegunungan, atau bukit. Tradisi megalitik Bangsa Indonesia pada saat itu masih berada dalam jaman prasejarah karena belum mengenal tulisan. Jaman prasejarah di Indonesia berakhir setelah masuknya pengaruh kebudayaan India pada sekitar awal abad IV masehi. Dengan masuknya pengaruh India, kebudayaan bangsa Indonesia mulai mengalami perubahan besar, yaitu mulai mengenal tulisan, timbulnya sistem pemerintahan kerajaan, serta mengenal sistem keagamaan yang baru. Sistem keagamaan baru yang berasal dari India itu adalah agama Hindu dan Budha. Awal masuknya jaman sejarah di Indonesia ditandai dengan ditemukannya 7 buah Prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, yang berasal dari abad IV Masehi, yang menyebutkan adanya Kerajaan Kutai. Di samping itu di Jawa Barat ditemukan beberapa buah prasasti, antara lain Prasasti Kebon Kopi, Pasir Awi, Jambu, Ganten, Tugu, Lebak, dan Muara Cianten yang berasal dari abad IV - V Masehi yang menyebutkan adanya Kerajaan Tarumanegara. Dari kedua kerajaan tersebut belum ditemukan peninggalan yang baerupa bangunan candi Peninggalan bangunan candi baru muncul pada masa Kerajaan Mataram Hindu yang berpusat di Jawa Tengah dan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera, sekitar abad VII-VIII Masehi. Setelah agama Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, Bangsa Indonesia mulai mengenal pemujaan kepada dewa-dewa Hindu, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Durga dan sebagainya. Tradisi pemujaan kepada dewa-dewa yang berasal dari India tersebut diwujudkan dalam bentuk arca-arca dewa dari batu atau batu-bata, yaitu bangunan yang sekarang kita sebut sebagai candi. Arca-arca dewa di dalam bilik candi diwujudkan dalam posisi berdiri atau duduk di atas lapik batu berbentuk bunga teratai yang disebut padmasana. Padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai dan asana yang berarti tempat duduk. Jadi padmasana di dalam konteks bangunan candi berarti adalah tempat duduk berbentuk bunga teratai. Berdasarkan temuan arkeologis di Indonesia, dewa utama yang paling sering diarcakan di dalam candi adalah Dewa Siwa. Sedangkan dewa-dewa lainnya, seperti Dewa Wisnu, Brahma, Durga, dan Agastya Siwa Mahaguru tidak dicandikan tersendiri, melainkan merupakan bagian dari komplek percandian yang melengkapi keberadaan Dewa Siwa. Hal ini memperkuat pendapat bahwa aliran Hindu yang masuk ke Indonesia adalah aliran Siwaistis atau Siwasidhanta. Di samping candi-candi yang berisikan arca dewa, terdapat juga candi-candi yang berisikan lingga-yoni, yang merupakan lambang penyatuan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. lingga adalah batu berbentuk silindris menyerupai alat kelamin laki-laki, dipasangkan secara vertikal di atas yoni. Sedangkan yoni berbentuk segi empat dan bagian atasnya datar dengan sebuah cerat pada salah satu sisinya yang menyerupai alat kelamin perempuan. Dalam hal ini lingga merupakan lambang unsur laki-laki dan yoni merupakan lambang unsur perempuan, sehingga penyatuan keduanya menghasilkan kesuburan. Di samping itu lingga juga merupakan lambang dari penyatuan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Bentuk lingga ini terdiri dari 3 bagian, paling bawah berbentuk segi empat, lambang Brahma; bagian tengah berbentuk segi delapan lambang Wisnu; dan bagian atas berbentuk bulat, lambang Siwa. Candi-candi Hindu yang mula-mula berkembang di Indonesia menunjukkan perpaduan tradisi megalitik dengan pengaruh budaya India, yaitu bahwa tidak hanya roh nenek moyang, tetapi dewa-dewa juga bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, sehingga candi-candi tersebut dibangun di dataran daerah dataran tinggi atau pegunungan. Misalnya komplek Candi Gedongsongo di kaki Gunung Ungaran dan Komplek Candi Dieng di dataran tinggi Dieng. Candi-candi ini tidak memiliki denah halaman yang jelas, dan terletak saling berpencar satu sama lain. Dalam hal ini tampak perpaduan konsep antara India dan Indonesia, yaitu bahwa bangsa Indonesia sudah menggunakan arca dewa sebagai pusat orientasi pemujaan, namun juga masih menggunakan orientasi gunung sebagai tempat tinggal roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa tersebut. Candi-candi dengan pola tersebaran di pegunungan ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian utara, sehingga para ahli arkeologi menyebutnya Periode Jawa Tengah bagian Utara. Pada pertengahan masa Kerajaan Mataram Kuno, pengaruh India semakin menguat. Pusat orientasi pemujaan sudah tidak lagi mengarah ke gunung, tetapi pada arca-acra dewa di dalam bilik dewa dianggap sebagai pusat kosmis dan pusat orientasi pemujaan, sehingga komplek candi yang dibangun pada masa itu mempunyai denah berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang dengan pola memusat, yaitu- halaman yang dianggap paling suci terletak di tengah. Pusat orientasi pemujaan ada candi induk yang berada di halaman pusatnya, misalnya Komplek Candi Plaosan Lor, dan Komplek Candi Ngawen. Pembangunan komplek percandian juga harus didasarkan pada aturan-aturan dalam kitab Vastupurusamandala vastu situs, tempat; purusa segala hakekat/jiwa dari alam semesta; dan mandala wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala berarti suatu wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala terlihat pada ketepatan garis diagonal halaman serta kesejajaran penyusunan candi-candi perwara yang mengelilingi candi induknya. Di samping itu berdasarkan perhitungan arah menurut kompas, arah hadap candi juga benar-benar persis menghadap ke timur. Candi-candi dengan pola memusat pada masa Mataram Hindu ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian selatan, sehingga lazim disebut Periode Jawa Tengah bagian Selatan. Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, tampaknya perbedaan ajaran antara agama Budha dan Hindu tidak terlalu dipermasalahkan oleh pemeluknya sendiri. Hal ini tampak pada banyaknya candi Hindu dan Budha yang terletak saling berdekatan satu sama lain di daerah Prambanan, seperti Candi Sambisari, Prambanan, Barong, dan Ijo berorientasi pada arah timur-barat, tetapi berubah menjadi membelakangi gunung. Perubahan dari denah konsentris menjadi denah tersusun ke belakang ini mulai tampak pada Candi Jago di Malang. Candi ini memiliki 3 tingkatan kaki candi. Tingkat ketiga dan bagian tubuh candi terletak pada bagian paling belakang. Hal ini menunjukkan munculnya kembali konsep-konsep pada bangunan prasejarah, yaitu punden berundak dan pemujaan roh nenek moyang. Munculnya kembali tradisi pemujaan roh nenek moyang menyebabkan praktik agama Hindu dan Budha pada waktu itu sedikit demisedikit mulai menyatu dan mulai tidak dibedakan lagi oleh para pemeluknya. Penyatuan unsur-unsur agama Hindu dan Budha ini ditandai dengan beberapa orang raja yang setelah meninggal dicandikan dibuatkan candi sebagai tempat pemujaan kepadanya, di dua tempat, yaitu sebagai Siwa Hindu dan Buddha. Raja-raja yang dicandikan baik sebagai Siwa maupun Budha adalah Ken Arok Rajasanegara, Kertanegara, Raden Wijaya Kertarajasa, Jayanegara, dan sebagainya. Sehingga dalam masa-masa selanjutnya antara agama Hindu dan Budha sudah tidak dapat dikatakan sebagai agama yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sudah menjadi satu kesatuan yang disebut Siwa-Budha. Di samping denah bangunan candi kembali ke konsep punden berundak, arca-arca di dalam bilik candi pun mulai menyimpang dari kaidah pembuatan arca dewa di India. Bila arca di candi-candi periode Jawa Tengah bagian selatan dibuat sedemikian realistis agar tampak hidup, maka arca-arca dewa di dalam bilik candi di Jawa Timur tampak kaku menyerupai mummi atau mayat. Menurut para ahli ahli arkeologi, wajah dewa atau dewi di dalam candi tidak sama dengan wajah dewa sebagaimana yang digambarkan pada periode Jawa Tengah karena cenderung dibuat mirip dengan wajah raja atau ratu yang telah meninggal, Arca-arca di dalam bilik candi bukan lagi semata-mata sebagai arca dewa, melainkan sebagai wujud roh nenek moyang yang telah menjadi satu dengan dewa-dewa, yang diwakili oleh sosok seroang raja/ratu yang telah mangkat. Pada saat itu mulai berlaku konsep dewa raja, yaitu raja atau ratu yang meninggal dibuatkan tempat peringatan berupa bangunan candi dengan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/ dewi di dalamnya. Seperti Mahendradata Gunapriyadharmapatni yang diwujudkan sebagai Dewi Durga di Gianyar, Bali; Airlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wisnu yang naik Garuda di Candi Belahan, Mojokerto; Ken Dedes permaisuri Ken Arok, pendiri Kerajaan Singosari yang diwujudkan sebagai Dewi Prajna-paramitha, Kertanegara yang diwujudkan sebagai Aksobhya, dan sebagainya. Dengan demikian kepercayaan kepada dewa-dewi dalam agama Hindu dan Budha yang berkembang menjelang abad XV bersinkretis dengan konsep pemujaan roh leluhur dari tradisi megalitik, sehingga memunculkan aliran baru yang merupakan perpaduan antara agama asli Bangsa Indonesia yang berorientasi pada pemujaan roh leluhur dengan agama Hindu-Budha yang berorientasi pada pemujaan dewa-dewa kosmis. Pembuatan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/dewi di dalam bilik candi pada masa Jawa Timur bukanlah adat kebiasaan agama Hindu dan Budha untuk memudahkan pengertian, selanjutnya disebut agama Hindu saja yang berasal dari India. Sebaliknya upacara-upacara pemujaan kepada raja/ratu yang telah meninggal itu merupakan adat kebiasaan Indonesia yang diberi bentuk kehinduan sebagai usaha meningkatkan pengertiannya agar sesuai dengan keadaan yang telah berubah karena pengaruh Hindu. Maka dasar upacaranya tetap bersifat Indonesia, sedangkan dari segi agama Hindu tidak bertentangan konsep ajarannya yang bersifa-t Hinduistis dan Candi Sewu, Kalasan, Sari, Sofogedug, Sojiwan, dan Plaosan yang bersifat Budhistis. Bahkan candi Hindu dan Budha yang terbesar, yaitu Komplek Candi Prambanan yang bersifat Hindu dan Komplek Candi Sewu yang bersifat Budha didirikan berdampingan. Masih pada masa Kerajaan Mataram Hindu, pada masa yang lebih kemudian antara kedua agama tersebut terjadi pemaduan unsur-unsur kebiasaan di kalangan penganutnya. Hal ini mulai tampak pada Komplek Candi Plaosan Lor, di mana arca-arca di dalam candi induknya bersifat Budha, tetapi atribut-atribut yang dikenakannya sudah mulai bercampur dengan unsur-unsur Hindu. Demikian pula dengan candi perwaranya. Di Kompleks Candi Plaosan Lor, sebagian besar candi perwara-nya mempunyai atap berbentuk stupa, tetapi, terdapat pula candi-candi perwara yang mempunyai atap berbentuk ratna yang merupakan ciri khas candi yang bersifat Hindu. Pada abad X pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu dipindahkan ke Jawa Timur dan berakhir pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Setelah Kerajaan Mataram hindu runtuh dan kemudian secara berturut-turut digantikan oleh kerajaan-kerajaan lain, seperti Kediri, Daha, Singosari, dan Majapahit. Di Jawa Timur candi-candi mulai dibangun dengan ketentuan yang menyimpang dari konsep Vastupurusamandala. Bila candi-candi di Jawa Tengah bagian Selatan semula berdenah konsentris dengan halaman paling dalam adalah yang paling suci, maka pada periode Jawa Timur, denah candi berubah menjadi tersusun ke belakang kembali, yang mana halaman paling belakang merupakan bagian yang paling suci. Arah hadap candi juga tidak lagi seiring dengan perkembangan jaman, sejak, melemahnya Kerajaaak Majapahit menjelang akhir abad XVI agama Islam mulai menggantikan posisi agama Hindu di Jawa. Pemeluk Hindu semakin terpinggirkan dari tanah Jawa dan hanya bertahan di Bali. Sejak itu candi-candi di Jawa menjadi rusak dan terbengkalai karena boleh dikatakan sudah tidak ada lagi penganutnya. Suatu hal yang barangkali menjadi aneh bagi kita adalah, mengapa di Bali tradisi menggunakan bangunan candi sebagai tempat pemujaan menjadi hilang, walaupun di Bali sendiri memiliki banyak peninggalan bangunan candi, seperti Candi Gunung Kawi, Candi Tebing Tegallingga, Candi Stupa Pegulingan, dan sebagainya. Di Bali mungkin kita sudah tidak menemukan lagi bangunan candi yang masih digunakan sebagai tempat pemujaan. Sebagai gantinya kita bersembahyang di dalam pura yang di dalamnya terdapat berbagai macam bangunan seperti padmasana, meru, prasada, atau pelinggih-pelinggih lainnya. Namun kita masih dapat melihat keterkaitan antara bangunan pura dengan komplek percandian pada Periode Jawa Timur, yaitu dari denah halamannya yang tersusun ke belakang. Di dalam halaman utama mandala, kita memang sudah tidak menemukan bangunan candi lagi, namun di sana akan menjumpai bangunan berbentuk meru atau prasada. Meru adalah bangunan yang terbuat dari kayu dengan atap dari ijuk berbentuk semacam payung segi empat yang bertingkat-tingkat. Sedangkan prasada adalah bangunan pejal yang terbuat dari batubata, namun beratap ijuk atau kayu. Atapnya tidak bertingkat-tingkat seperti halnya meru. Keduanya memiliki persamaan dengan candi, yaitu terdapat rongga bilik di dalamnya. Namun di dalam bilik tersebut tidak terdapat arca dewa atau lingga yoni. Sebagai gantinya, di dalamnya terdapat benda-benda suci yang merupakan wakil dari dewa atau leluhur yang disthanakan seperti pratima, peripih, atau pedagingan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukan tradisi pemujaan kepada dewa atau roh leluhurnya yang berakhir, tetapi tradisi membuat bangunan candinya-lah yang berakhir. Tradisi membuat bangunan candi digantingan dengan membuat bangunan berbilik dari kayu yang disebut dengan meru atau dari batu bata yang disebut dengan prasada. Konsep dasar pemujaan kepada dewa atau roh leluhur itu sendiri tetap tidak berubah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi pada masa lampau di Bali telah berubah menjadi meru dan prasada. Peralihan dari bentuk candi ke bentuk meru sebenarnya sudah mulai tampak pada Komplek Candi Panataran di Blitar, yang dibangun sekitar abad XIV, yaitu pada candi induknya yang hanya terdiri dari bagian kaki, tanpa tubuh dan atap. Bagian tubuh dan atapnya sudah tidak ada, namun juga tidak ditemukan sisa-sisa dinding bangunannya. Di samping itu di bagian lantai kaki candi tersebut terdapat beberapa umpak yang menunjukkan bahwa dahulu terdapat tiang atau atap yang terbuat dari kayu. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk-bentuk candi dari masa Hindu-Budha di Bali sudah berubah menjadi meru dan prasada. Yang menjadi pertanyaan kembali adalah, bagaimana dengan sejarah timbulnya padmasana seperti yang kita kenal sekarang? Sebagaimana telah dijelaskan di atas, padmasana semula adalah sebagai tempat duduk atau berdirinya arca dewa di dalam bilik bangunan candi di Jawa. Semenjak kedatangan Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali pada akhir abad XVI, penggunaan arca-arca dewa mulai dihilangkan. Hal ini dikarenakan sejak kedatangan Dang Hyang Nirartha, arca-arca perwujudan dewa diganti dengan wujud banten, misalnya ajuman, daksina, canangsari, tumpeng, dan lain-lain. Mungkin pula tradisi ini timbul sebagai akibat dari kedatangan agama lain, khususnya di Jawa, yang secara ekstrim menentang dan berusaha menghancurkan segala bentuk pemujaan yang menggunakan media arca. Agar tidak kehilangan makna dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, maka media arca ini diganti dalam bentuk banten yang sifatnya sementara. Dalam perkembangannya, untuk meletakkan banten ini, dibuatlah pelinggih-pelinggih, baik yang bersifat sementara maupun permanen. Pelinggih yang bersifat permanen dibuat dalam bentuk seperti tugu dengan singgasana di atasnya, yang sekarang kita sebut dengan padmasana ini. Tentunya akan timbul pertanyaan bahwa mengapa bentuk padmasana yang kita kenal sekarang ini berbeda jauh dengan bentuk padmasana pada tempat duduk/berdiri arca di dalam bilik candi? Di dalam agama Hindu, Sang Hyang Widhi merupakan penguasa atas Tribhuwana, yaitu alam bhur, bwah, dan swah. Oleh karena itu untuk menggambarkan Kemahakuasaan Beliau diwujudkanlah bentuk bangunan seperti tugu yang menggambarkan ketiga dunia ini. Lalu mengapa disebut dengan padmasana? Mungkin istilah ini berasal dari pesimpenan Pancadatu atau pedagingan yang ditanam, baik di dasar, di tengah, maupun di atas bangunan tersebut. Di Bali banten pedagingan diletakkan di atas alas banten yang disebut lamak, yang terbuat dari daun enau. Lamak itu sendiri merupakan perwujudan dari bunga teratai atau padma. Pedagingan di puncak bangunan disebut dengan padma mas. Disebut dengan padma mas ini tidak tampak dari luar karena ditanam di dalam singgasana padmasana yang berbentuk persegi empat. Karena padma mas ini terletak di dalam singgasana yang merupakan tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi Wasa, maka keseluruhan bangunan ini disebut dengan padmasana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi tetap berlanjut dalam bentuk pembuatan meru dan prasada. Sedangkan padmasana muncul sebagai perkembangan dari bentuk pelinggih yang bersifat permanen, yaitu untuk memuja Sang Hyang Widhi yang kehadiran-Nya diwujudkan dalam bentuk banten. Source Budiana Setiawan l Warta Hindu Dharma NO. 437 Juli 2003 Seni Bangunan Masa Hindu-Budha Pada Candi Pada awalnya, Hindu-Budha memasuki Indonesia melalui hubungan perdagangan dengan para pedagang Hindia. Pada masa ini juga disebut sebagai akhir dari masa prasejarah di Indonesia karena manusia pada jaman ini sudah ditemukan tulisan dan manusia mulai mengenal peradaban. Para pedagang ini tidak semata-mata hanya menjual barang dagangan mereka, tetapi juga menyebarkan agama dan budaya-budaya mereka, khususnya pada bidang kesenian. Baik pada seni rupa, sastra, maupun seni pada bangunan yang kemudian diterapkan dalam pembuatan candi. Candi dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan masa lalu pada zaman Hindu-Budha. Selain sebagai tempat ibadah, candi juga diartikan sebagai replika tempat tinggal para dewa. Dan pesan-pesan yang ada di relief candi tak lepas dari unsur religi. Jika dilihat dari bentuknya, pada umumnya candi dibangun dengan model bangunan yang bertingkat-tingkat dan dibagi menjadi 3 bagian yaitu kaki candi, badan atau tubuh candi, dan atap candi. Bentuk dari bangunan candi itu sendiri juga menggunakan konsep geometri, misalnya pada kaki candi dan badan candi menggunakan atau menerapkan bentuk segi empat persegi, sedangkan pada atap candi biasanya menggunakan dasar lingkaran, tetapi ada juga candi yang memakai bentuk dasar lingkaran. Candi juga dihiasi dengan anak tangga yang berfungsi sebagai jalan dari kaki candi ke bagian atas candi. Selain itu, di setiap dinding candi juga selalu dihiasi oleh relief-relief. Ada perbedaan bangunan candi antara Hindu dan Budha. bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Contohnya candi prambanan, candi ini dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Sedangkan pada Candi budha. Contohnya borobudur, bentuk candi melambangkan bunga teratai yang diartikan sebagai singgasana Budha. Relief adalah seni pahat atau ukiran timbul yang memiliki nilai estetika, dan nilai religi. Karena selain memperindah candi dengan berbagai bentuk ukiran-ukirannya juga menceritakan tentang kehidupan masyarakat pada saat itu. Relief pada candi tidak langsung bertuliskan cerita, tetapi dalam bentuk simbol-simbol atau biasanya dalam bentuk makhluk hidup seperti manusia, hewan atau juga benda mati. Bagian-bagian pada candi a. Kaki candi kaki candi melambangkan kehidupan dunia bawah yang masih dikuasai oleh nafsu. Bagian kaki candi biasanya berbentuk persegi. b. Badan candi di bagian tubuh candi terdapat relung yang berada di dinding di dekat pintu masuk candi. Dan berisi arca-arca yang diletakkan di dalam relung-relung tersebut. Dan tubuh candi biasanya terdiri dari bilik-bilik yang juga berisi arca-arca. c. Atap candi Atap candi melambangkan dunia atas atau tempat para dewa. Atap pada candi umumnya berbentuk lingkaran besar pada dasarnya dan semakin ke atas semakin kecil, dan di dalamnya dibei rongga yang dimaksudkan sebagai tempat bersemayam para dewa. Fungsi Candi Candi berfungsi sebagai tempat pemakaman raja, dan juga digunakan sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang tau pemujaan kepada dewa. Ini bisa dilihat dari adanya selasar. Selasar adalah lantai yang berada pada bagian tubuh candi. Selasar ini digunakan sebagai tempat melakukan pradaksina memutari candi searah jarum jam, ini dimaksudkan dengan membaca relief searah jarum jam, dipercaya mereka sedang berdoa kepada dewa. Selasar juga digunakan sebagai tempat melakukan prasawiya memutari candi berlawanan arah jarum jam, ini dimaksudkan dengan membaca relief berlawanan dengan arah jarum jam, mereka sedang mendoakan nenek moyang mereka. Gambar di samping adalah relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran. Gambar di samping adalah gambar arca Budha di candi borobudur, aarca Budha memiliki beberapa karakteristik, salah satunya yaitu Arca Budha memiliki telinga yang panjang sebagai gambaran kalau Budha itu Maha Mendengar. Ini adalah gambar atap candi arupadhatu borobudur, candi ini bercorak Budha dan dibangun oleh Raja Sam Ratunga pada 824 masehi. Arupadhatu berada pada tingkat atas dari candi borobudur. Bentuk bangunan Arupadhatu ini menggambarkan mengenai tingkatan Nirwana yang berarti surga. Pada tingkat ke-7 Candi Borobudur, terdapat 32 stupa. Pada tingkat selanjutnya yaitu tingkat ke-8, terdapat 24 stupa. Tingkat ke-9 memiliki 16 stupa, dan pada tingkatan paling atas dari Candi Borobudur terdapat 1 stupa yang terbesar diantara stupa- stupa yang lainnya. CandiPrambanan atau Candi RaraJonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnusebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Relief candi prambanan menceritakan tentang kisah ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

seni bangunan indonesia yang menjadi dasar dalam pembuatan candi adalah